Pengalaman Warga RI Belasan Tahun Hidup di Korea Utara
Andry Yuwono adalah satu dari sedikit warga Indonesia yang saat ini bermukim di Pyongyang, Korea Utara. Ketika datang pertama kali pada tahun 2002, dia kaget karena listrik mati setiap jam 9 malam.
Sampai saat ini memang tidak banyak warga asing yang menetap di sana. Bahkan, jumlah WNI hanya berkisar 35 orang, terdiri atas para diplomat dan keluarganya.
Andry bekerja di KBRI Pyongyang sebagai staf teknis. Dia kini hidup di sana bersama istri dan anak-anaknya.
"Kehidupan sehari-hari kita di sini Alhamdulillah seperti biasa. Kebutuhan langsung bisa kita beli di pasar rakyat (tongil)," ujar Andry kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim.
"Mengenai pendidikan, kebetulan anak saya dari TK sampai SMA sekarang, sama dengan pendidikan di Indonesia. Malah jauh lebih bagus," katanya saat dihubungi pada pekan kedua Oktober 2018.
Andry menjelaskan, dirinya bebas bepergian keluar Kota Pyongyang, namun memang harus mengajukan surat pemberitahuan.
"Pengawasan memang selalu ada, termasuk larangan bila kita bepergian ke tempat yang sangat vital," ujar alumni sebuah SMK di Klaten, Jateng, ini.
Andry mengatakan, meski bebas naik kendaraan umum seperti taksi dan bus umum, namun kehidupan sehari-hari warga setempat dan orang asing memang terpisah.
"Kami tinggal di apartemen dengan kondisi terjamin," katanya.
Tempat tinggal Andry terletak di lingkungan kompleks yang dikhususkan bagi kalangan asing seperti para diplomat.
"Tidak semua orang Korut yang bisa melintas," katanya.
"Orang yang bekerja di setiap kedutaan asing dan organisasi internasional di sini pun tidak bebas masuk. Harus izin sebelumnya," ujar Andry.
Letak kompleks tempat tinggalnya berada di tengah Kota Pyongyang, di apartemen yang sewanya dibayar tiap bulan dengan mata uang Euro.
Mata uang setempat, kata Andry, hanya berlaku di pasar rakyat. "Kami orang asing selalu belanja sayuran dan segalanya di sana," katanya.
"Yang membuat saya terkejut ketika pertama kali datang ke sini, setiap jam 9 malam lampu mati semua," katanya, mengenang saat datang ke Korut tahun 2002.
"Kita tidak bisa masuk ke toko-toko di pinggir jalan. Kita tidak bisa bersosialisasi dengan masyarakat sini," tambahnya.
Namun saat ini, katanya, Andry sudah bisa ke toko membeli kebutuhan sehari-hari.
"Kami juga bermain di taman berbaur dengan mereka. Tapi memang tidak bisa sembarang foto-foto," katanya.
Mengenai pendidikan untuk anak-anak orang asing, mereka masuk sekolah internasional, yang menurut Andry tak kalah dibanding dengan yang ada di negara lain.
"Kurikulumnya standar internasional, ada Bahasa Inggris, Bahasa Korea, kimia, dll. Total 10 mata pelajaran anak saya," katanya.
"Sekolahnya gratis, tidak ada SPP. Tapi jika orangtua murid ingin pelajaran ekstra, mereka harus membayar," ujarnya.
Bulan lalu, istri Andry harus masuk rumah sakit, dan "Kami diperlakukan seperti tamu VVIP," katanya.
Biaya pengobatan di RS memang tidak gratis, namun menurut Andry, lebih murah jika dibandingkan dengan di Jakarta.
"Para dokter melayani dengan sangat baik, sampai-sampai Kepala RS sekelas profesor turun tangan memeriksa istri saya," jelasnya.
Jika rindu dengan kampung halamannya, Andry mengatakan sebenarnya tidak jadi masalah.
Pasalnya, katanya, kami masih bisa mengikuti siaran TV Indonesia meski "hanya beberapa siaran TV saja."
Ketertutupan Korea Utara terhadap dunia luar membuat kehidupan sehari-hari di negara itu tak banyak dikenal.
"Padahal kalau untuk liburan di sini sangat bagus karena pemandangannya sangat indah," kata Andry.
"Penduduknya itu ramah dan setahu saya tidak ada kriminalitas," tambahnya.
"Memang angka kemiskinan masih di bawah tapi saya pribadi salut dengan negara ini yang bisa hidup mandiri," ujarnya lagi.
"Saya belum pernah mendengar dan melihat orang kelaparan di sini," paparnya.
HALAMAN SELANJUTNYA:
0 Response to "Pengalaman Warga RI Belasan Tahun Hidup di Korea Utara"
Posting Komentar