Nenek Ini Hidup Sendirian di Gubuk Tanpa Listrik dan Sering Menahan Lapar
Nenek Luspina Sana (78), warga Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, sudah 6 tahun hidup sebatang kara di gubuk reyot tanpa listrik.
Nenek Luspina hidup menyendiri sejak sang suami, Yosef Lawe, meninggal 6 tahun silam.
Suaminya bekerja menjaga dan membersihkan kuburan Islam di Kelurahan Wolomorang.
Nenek Luspina tidak bisa melanjutkan pekerjaan sang suami.
Sejak suaminya meningggal, nenek Luspina memilih bertahan di gubuk reyot yang dibangun di kompleks pekuburan.
Ia hidup sebatang kara di gubuk reyot yang berukuran 2x3 itu.
Gubuknya itu berlantai tanah, berdinding pelupuh bambu, dan beratapkan seng.
Dinding dan atap gubuk itu sudah rusak.
Langit-langi gubuk itu penuh sarang laba-laba.
Atap seng bagian dalam hitam pekat akibat asap saat masak menggunakan kayu api.
Ditambah lagi asap lampu pelita sebagai sumber penerangan gubuk nenek Luspina.
Hidup tanpa suami membuat nenek Luspina tambah sengsara.
Ia hidup melarat. Untuk dapat sesuap nasi saja susah.
“Saat ada suami dulu, kami kerja apa saja untuk bisa beli beras. Sekarang, hidup saya semakin sengsara. Untuk makan, saya ini susah sekali. Untuk makan saya terkadang tunggu belas kasih tetangga,” tutur nenek Luspina, kepada Kompas.com, Selasa (22/10/2019.
Agar bisa membeli beras, nenek Luspina menggantungkan hidupnya dari satu pohon mente yang tumbuh di depan gubuknya.
Biji mente itu dijualnya, satu kilo sampai dua kilo.
“Belum lama ini saya ada jual mente danuang ada Rp 300.000.
Tetapi, pas saya tidur siang, uang itu dicuri orang. Sekaran sudah tidak ada uang lagi. Mau beli beras sudah tidak bisa.
Jadinya tunggu orang kasih baru bisa makan.
Kalau tidak, ya saya tahan saja rasa lapar,” ungkap nenek Luspina, sembari menggosok air matanya.
Tidak hanya makan, untuk memperoleh air minum juga nenek Luspina sangatlah susah. Begitupula minyak tanah dan kayu api.
Letak rumah nenek Luspina masuk dalam wilayah Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka. Jarak dari kantor pemerintahan sekitar 2 kilometer.
Dua nenek bernama Siti (91) dan Simah (82) adalah kakak beradik yang mengalami kebutaan dan tinggal dalam satu rumah.
Mereka adalah warga RT 11/RW 06, Dusun Karangploso, Desa Klampok, Kecamatan Benjeng, Gresik, Jawa Timur.
Kedua kakak beradik ini tinggal dalam satu rumah papan dengan kondisi kurang layak selama bertahun-tahun.
Mereka hidup berdua tanpa ditemani oleh anggota keluarga yang lain.
Keduanya menjalani dan menghabiskan hidup dengan apa adanya bersama.
Terkadang, mereka pun sampai mendapat bantuan tetangga untuk sekadar keperluan makan sehari-hari.
"Kadang saya masak sendiri, kadang juga diberi oleh tetangga atau kerabat.
Kami tinggal berdua, karena memang tidak punya anak dan suami," ujar Simah, saat ditemui, Kamis (17/10/2019).
Jauh sebelumnya, Simah mengaku memang belum pernah menikah sama sekali hingga saat ini.
Sementara Siti, dikatakan oleh Simah pernah menikah cuma sudah bercerai dan tidak dikaruniai anak.
"Kami sebenarnya ada lima bersaudara, cuma dua saudara sudah meninggal sejak kecil.
Tinggal saya, Siti, dan Saridi yang sekarang juga sudah meninggal," ucap dia.
Almarhum Saridi berjenis kelamin laki-laki dan memiliki dua orang anak, Tami dan Atim.
Saridi adalah saudara tertua, kemudian Siti, dan Simah sebagai anak bungsu.
Dua saudara kandung lainnya, dikatakan Simah sudah meninggal dunia sejak masih kecil.
"Kalau yang masih hidup ya tinggal saya dan Siti ini, sama-sama sudah tidak dapat melihat lagi.
Ini juga rumah tinggalan orang tua," kata dia.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Simah yang sudah tidak dapat melihat rela memasak untuk keperluan makan.
Meski masakan itu, diakui oleh Simah sebisa dia lakukan, asal dapat untuk dikonsumsi bersama Siti.
"Masak sendiri untuk makan, sampai pernah kaki ini terkena (bara) api karena tidak bisa melihat. Sebab Siti sudah tidak bisa apa-apa, sering sakit-sakitan, jalan saja sudah pakai tongkat. Kadang juga dikasih orang," kata Simah.
Untuk menopang kehidupan, kedua kakak-beradik buta ini pun banyak mengandalkan pemberian orang dan pihak-pihak yang merasa kasihan dengan kondisi mereka.
Terlebih sebelumnya, sudah banyak perabot dan barang milik pribadi yang dijual guna membeli kebutuhan bahan makanan.
"Kadang juga kami yang kasih makan, kadang juga keponakannya (Tami). Tapi kebanyakan Mbah Simah itu masak sendiri, seadanya, beberapa waktu lalu sampai kakinya terluka kena api," ucap salah seorang tetangga, Karni (50).
Biasanya, tetangga maupun kerabat mengirim makanan kepada kedua nenek buta tersebut saat Simah sedang sakit, lantaran tidak ada makanan yang tersedia untuk dikonsumsi.
"Memang yang sering sakit-sakitan itu Mbah Siti, kalau Mbah Simah yang sakit ya susah nggak ada yang masak, makanya kami kebanyakan kirimi makanan saat Mbah Simah sakit," beber salah seorang tetangga yang lain, Rika (32).
Rumah Siti dan Simah yang ditempati saat ini merupakan peninggalan orang tua.
Rumah berdinding papan dengan tatanan kuno, dan sebenarnya terlihat cukup tidak layak untuk ditempati.
"Kadang kalau hujan juga masih kebanjiran. Meski sekarang lantai sudah diplester (dicor), kalau hujan deras ya tetap ngembes (kebanjiran tapi nggak parah seperti sebelumnya)," ujar salah seorang tetangga, Rika.
Di samping rumah berukuran sekitar 10x12 meter persegi tersebut, sebenarnya terdapat sebidang tanah kosong. Tanah tersebut, dahulunya merupakan milik Siti dan Simah.
"Tapi sudah lama kami jual. Dulu saat dibeli katanya mau dibuat mushalla, makanya saya mau jual, tapi sampai sekarang kok tidak dibangun-bangun mushallanya," ucap Simah.
Simah sendiri mengaku lupa besaran uang yang diterima hasil penjualan sebidang tanah tersebut secara pasti, lantaran durasi waktu penjualan yang cukup lama.
"Sudah lama nak, tahun 90-an dulu atau lebih malahan (tahun 80-an). Cuma ya itu, (hasil penjualan) cukup buat bangun kamar mandi dan toilet, terus sisa uang Rp 250 ribu seingat saya," tutur Simah.
Ketika ditanya mengenai harga penjualan sebidang tanah miliknya tersebut apakah tidak terlalu murah? Simah hanya menjawab diplomatis.
"Ya itu nak, ngomongnya kan mau dibuat musholla jadi ya saya setuju saja menjualnya, tapi kok belum dibangun-bangun sampai sekarang," kata Simah.
Simah sendiri mengaku bersyukur, saat ini sudah banyak pihak yang membantu, lantaran merasa iba dengan kehidupan mereka.
Baik pribadi, instansi, pemerintah desa setempat, hingga pemerintah daerah.
Nenek Luspina hidup menyendiri sejak sang suami, Yosef Lawe, meninggal 6 tahun silam.
Suaminya bekerja menjaga dan membersihkan kuburan Islam di Kelurahan Wolomorang.
Nenek Luspina tidak bisa melanjutkan pekerjaan sang suami.
Sejak suaminya meningggal, nenek Luspina memilih bertahan di gubuk reyot yang dibangun di kompleks pekuburan.
Ia hidup sebatang kara di gubuk reyot yang berukuran 2x3 itu.
Gubuknya itu berlantai tanah, berdinding pelupuh bambu, dan beratapkan seng.
Dinding dan atap gubuk itu sudah rusak.
Langit-langi gubuk itu penuh sarang laba-laba.
Atap seng bagian dalam hitam pekat akibat asap saat masak menggunakan kayu api.
Ditambah lagi asap lampu pelita sebagai sumber penerangan gubuk nenek Luspina.
Hidup tanpa suami membuat nenek Luspina tambah sengsara.
Ia hidup melarat. Untuk dapat sesuap nasi saja susah.
“Saat ada suami dulu, kami kerja apa saja untuk bisa beli beras. Sekarang, hidup saya semakin sengsara. Untuk makan, saya ini susah sekali. Untuk makan saya terkadang tunggu belas kasih tetangga,” tutur nenek Luspina, kepada Kompas.com, Selasa (22/10/2019.
Agar bisa membeli beras, nenek Luspina menggantungkan hidupnya dari satu pohon mente yang tumbuh di depan gubuknya.
Biji mente itu dijualnya, satu kilo sampai dua kilo.
“Belum lama ini saya ada jual mente danuang ada Rp 300.000.
Tetapi, pas saya tidur siang, uang itu dicuri orang. Sekaran sudah tidak ada uang lagi. Mau beli beras sudah tidak bisa.
Jadinya tunggu orang kasih baru bisa makan.
Kalau tidak, ya saya tahan saja rasa lapar,” ungkap nenek Luspina, sembari menggosok air matanya.
Tidak hanya makan, untuk memperoleh air minum juga nenek Luspina sangatlah susah. Begitupula minyak tanah dan kayu api.
Letak rumah nenek Luspina masuk dalam wilayah Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka. Jarak dari kantor pemerintahan sekitar 2 kilometer.
Dua nenek bernama Siti (91) dan Simah (82) adalah kakak beradik yang mengalami kebutaan dan tinggal dalam satu rumah.
Mereka adalah warga RT 11/RW 06, Dusun Karangploso, Desa Klampok, Kecamatan Benjeng, Gresik, Jawa Timur.
Kedua kakak beradik ini tinggal dalam satu rumah papan dengan kondisi kurang layak selama bertahun-tahun.
Mereka hidup berdua tanpa ditemani oleh anggota keluarga yang lain.
Keduanya menjalani dan menghabiskan hidup dengan apa adanya bersama.
Terkadang, mereka pun sampai mendapat bantuan tetangga untuk sekadar keperluan makan sehari-hari.
"Kadang saya masak sendiri, kadang juga diberi oleh tetangga atau kerabat.
Kami tinggal berdua, karena memang tidak punya anak dan suami," ujar Simah, saat ditemui, Kamis (17/10/2019).
Jauh sebelumnya, Simah mengaku memang belum pernah menikah sama sekali hingga saat ini.
Sementara Siti, dikatakan oleh Simah pernah menikah cuma sudah bercerai dan tidak dikaruniai anak.
"Kami sebenarnya ada lima bersaudara, cuma dua saudara sudah meninggal sejak kecil.
Tinggal saya, Siti, dan Saridi yang sekarang juga sudah meninggal," ucap dia.
Almarhum Saridi berjenis kelamin laki-laki dan memiliki dua orang anak, Tami dan Atim.
Saridi adalah saudara tertua, kemudian Siti, dan Simah sebagai anak bungsu.
Dua saudara kandung lainnya, dikatakan Simah sudah meninggal dunia sejak masih kecil.
"Kalau yang masih hidup ya tinggal saya dan Siti ini, sama-sama sudah tidak dapat melihat lagi.
Ini juga rumah tinggalan orang tua," kata dia.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Simah yang sudah tidak dapat melihat rela memasak untuk keperluan makan.
Meski masakan itu, diakui oleh Simah sebisa dia lakukan, asal dapat untuk dikonsumsi bersama Siti.
"Masak sendiri untuk makan, sampai pernah kaki ini terkena (bara) api karena tidak bisa melihat. Sebab Siti sudah tidak bisa apa-apa, sering sakit-sakitan, jalan saja sudah pakai tongkat. Kadang juga dikasih orang," kata Simah.
Untuk menopang kehidupan, kedua kakak-beradik buta ini pun banyak mengandalkan pemberian orang dan pihak-pihak yang merasa kasihan dengan kondisi mereka.
Terlebih sebelumnya, sudah banyak perabot dan barang milik pribadi yang dijual guna membeli kebutuhan bahan makanan.
"Kadang juga kami yang kasih makan, kadang juga keponakannya (Tami). Tapi kebanyakan Mbah Simah itu masak sendiri, seadanya, beberapa waktu lalu sampai kakinya terluka kena api," ucap salah seorang tetangga, Karni (50).
Biasanya, tetangga maupun kerabat mengirim makanan kepada kedua nenek buta tersebut saat Simah sedang sakit, lantaran tidak ada makanan yang tersedia untuk dikonsumsi.
"Memang yang sering sakit-sakitan itu Mbah Siti, kalau Mbah Simah yang sakit ya susah nggak ada yang masak, makanya kami kebanyakan kirimi makanan saat Mbah Simah sakit," beber salah seorang tetangga yang lain, Rika (32).
Rumah Siti dan Simah yang ditempati saat ini merupakan peninggalan orang tua.
Rumah berdinding papan dengan tatanan kuno, dan sebenarnya terlihat cukup tidak layak untuk ditempati.
"Kadang kalau hujan juga masih kebanjiran. Meski sekarang lantai sudah diplester (dicor), kalau hujan deras ya tetap ngembes (kebanjiran tapi nggak parah seperti sebelumnya)," ujar salah seorang tetangga, Rika.
Di samping rumah berukuran sekitar 10x12 meter persegi tersebut, sebenarnya terdapat sebidang tanah kosong. Tanah tersebut, dahulunya merupakan milik Siti dan Simah.
"Tapi sudah lama kami jual. Dulu saat dibeli katanya mau dibuat mushalla, makanya saya mau jual, tapi sampai sekarang kok tidak dibangun-bangun mushallanya," ucap Simah.
Simah sendiri mengaku lupa besaran uang yang diterima hasil penjualan sebidang tanah tersebut secara pasti, lantaran durasi waktu penjualan yang cukup lama.
"Sudah lama nak, tahun 90-an dulu atau lebih malahan (tahun 80-an). Cuma ya itu, (hasil penjualan) cukup buat bangun kamar mandi dan toilet, terus sisa uang Rp 250 ribu seingat saya," tutur Simah.
Ketika ditanya mengenai harga penjualan sebidang tanah miliknya tersebut apakah tidak terlalu murah? Simah hanya menjawab diplomatis.
"Ya itu nak, ngomongnya kan mau dibuat musholla jadi ya saya setuju saja menjualnya, tapi kok belum dibangun-bangun sampai sekarang," kata Simah.
Simah sendiri mengaku bersyukur, saat ini sudah banyak pihak yang membantu, lantaran merasa iba dengan kehidupan mereka.
Baik pribadi, instansi, pemerintah desa setempat, hingga pemerintah daerah.
HALAMAN SELANJUTNYA:
0 Response to "Nenek Ini Hidup Sendirian di Gubuk Tanpa Listrik dan Sering Menahan Lapar"
Posting Komentar